.

.

Kamis, 19 Maret 2009

PERTANIAN DI TENGAH LIBERALISASI

JAKARTA – Sidang General Council (Dewan Umum) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO) yang berlangsung lebih lama dari jadwal semula, 27 – 30 Juli, menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut sebagai terobosan yang historis. Isu liberalisasi pertanian yang selama ini menjadi hambatan perundingan mampu dicairkan.

Kebuntuan Cancun dipecahkan! Topik itu menjadi pembicaraan paling hangat dalam perundingan WTO di Jenewa. Mulai pukul 17.00 sore tanggal 30 Juli dan selesai 31 Juli 2004 lalu pukul 7.30 waktu Jenewa, berlangsung negosiasi intensif dan maraton dari delegasi negara anggota WTO.
Perundingan itu berhasil membuat kesepakatan baru dalam bentuk kerangka kerja (frame work) yang kemudian disebut Paket Juli (Juli Package). Perundingan disebut sukses mempersempit perbedaan antara negara maju dan negara berkembang yang selama ini sangat bertentangan.
“Untuk pertama kali, negara-negara anggota WTO setuju menghapuskan subsidi ekspor pertanian untuk waktu tertentu. Mereka juga menyetujui penurunan substansial domestik support dalam pertanian,” kata Direktur Jenderal WTO, Supachai Panitchpakdi, seusai perundingan maraton.
Paket Juli memang merupakan kemajuan signifikan dibandingkan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) V di Cancun, Meksiko September 2004. KTM yang sebelumnya diharapkan akan menghasilkan kesepakatan baru untuk mengakomodasi amanat Doha, ternyata macet. Isu pertanian tidak mencapai kompromi karena terjadi pertentangan keras antara negara maju dan negara berkembang.
Sebelumnya KTM Cancun memang sudah dibayang-bayangi oleh kegagalan karena belum ada perundingan yang berhasil menyepakati mengenai modalitas sektor pertanian (agriculture), Hak atas Ke-kayaan Intelektual (Trade Related Intellectual Property Rights/TRIPS), Kesehatan Publik (Public Health) dan Aturan Perdagangan (Rules). Semua sektor ini dalam tingkat perundingan masih dead lock alias buntu.
Liberalisasi pertanian merupakan isu penentu bagi seluruh negara WTO untuk membuka diri bagi perundingan di sektor lain. Akibatnya, agenda pertanian menjadi pembahasan paling alot dan sulit mencapai titik temu. Padahal sektor pertanian hanya 4 - 7 persen dari total perdagangan dunia. Itulah pertanian, nilainya kecil namun sensitive bagi masing-masing negara karena kental dengan muatan politis
Lihat saja, bagaimana negara maju masih melakukan subsidi domestik seperti Amerika Serikat (AS) dengan Farm Bill yang disahkan Mei 2002 dengan nilai US$ 180 miliar sebagai tambahan subsidi sektor pertanian hingga 10 tahun ke depan. Padahal, berdasarkan data pada akhir Putaran Uruguay (1997) AS masih menyisakan subsidi ekspor US$ 594 juta, Uni Eropa sebesar US$ 8496 juta, Austria menyisakan dana US$ 790 juta, Polandia mencapai US$ 493 juta, Kanada sebesar US$ 363 juta. Bandingkan dengan negara berkembang seperti Indonesia yang tidak bisa memberikan subsidi karena keterbatasan anggaran negara.
Tetapi kini dengan Paket Juli berhasil mengurai masalah pertanian bersama tiga pokok pembahasan lainnya, yaitu barang industri, jasa dan fasilitasi perdagangan. Sebagian delegasi mengatakan keberhasilan perundingan adalah kesuksesan negara berkembang untuk menekan negara maju menurunkan subsidi pertanian.
Paket Juli memuat sejumlah komitmen penting di sektor pertanian, diantaranya penghapusan semua subsidi ekspor atas produk pertanian seperti kapas, beras, kedelai, dan gandum yang tercermin pada pemangkasan subsidi pertanian hingga 20 persen pada tahun pertama setelah dicapai kesepakatan seluruh negara WTO.
Sebelumnya, dalam awal pertemuan Dewan Umum ada kekhawatiran kembali menemui jalan buntu karena belum ada kesepakatan mutlak atas beberapa perjanjian perdagangan mendasar, yaitu pemangkasan tarif impor dan subsidi pertanian. Draft 16 Juli yang diajukan dinilai tidak mengakomodasi kepentingan negara berkembang. Namun, perundingan terus berlanjut yang selanjutnya menghasilkan draf 30 Juli dan draf 31 Juli.
Ketua Delegasi Indonesia pada pertemuan Dewan Umum WTO, Pos M. Hutabarat mengemukakan Indonesia menyambut baik paket Juli karena merupakan terobosan menyelesaikan Doha Development Agenda. Bagi Indonesia yang penting dalam hal ini adalah tercapainya perjuangan selama 2 tahun memasukkan konsep Special Product dan Special Safeguard Mechanism (SP/SSM) dalam Paket Juli.
“Perundingan telah dicairkan dan perundingan yang lebih jauh untuk membentuk modalitas perjanjian akan segera dilanjutkan,” kata Pos yang juga Dirjen Kerjasama Industri dan Perdagangan Internasional, Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
SP/SSM merupakan bentuk perlindungan terhadap petani di dalam negeri yang masih dibawah garis kemiskinan. Dengan adanya perlindungan maka impor produk pertanian dapat ditahan yang akhirnya diharapkan dapat meningkatkan tarif hidup petani.

Tidak Adil
Di tengah sambutan gembira atas keberhasilan perundingan, banyak pihak yang menilai kesepakatan itu tidak memberikan kemajuan penting. Direktur Eksekutif Institute for Global Justice (IGJ), Bonnie Setiawan berpendapat kesepakatan itu mempertahankan ketimpangan dan ketidakadilan dengan tetap memberikan kesempatan bagi negara maju memberikan subsidi. Di lain pihak mengurangi subsidi di negara berkembang.
“Saya pesimistis subsidi bisa diturunkan. Pasar pertanian di negara berkembang akan dibuka lebih luas dan produk pertanian negara maju akan terus mendapat subsidi,” tegas Bonnie.
Pengamat ekonomi INDEF, Bustanul Arifin juga menegaskan dinilai tidak akan banyak membantu Indonesia. Kesepakatan itu cuma membuka sedikit ruang bermain bagi Indonesia. Mengenai butir kesepakatan pengurangan 20 persen subsidi pertanian, menurutnya harus dipantau bersama oleh seluruh negara anggota WTO sebagai jaminan akan sikap konsisten negara-negara maju.
Lebih jauh Bustanul menyoroti pentingnya akses pasar bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Yang terpenting saat ini, menurutnya, bagaimana agar akses pasar tersebut dibantu sepenuhnya. ”Tetapi paling tidak sekarang sudah ada tekanan yang membuahkan hasil bagi kepentingan Indonesia dan negara berkembang lainnya. Dan itu agaknya menjadi perhatian bersama karena tanpa itu WTO bisa-bisa terancam bubar,” katanya menambahkan.
Meski demikian, pengamat ekonomi lainnya Dradjat H Wibowo yakin kesepakatan itu akan meningkatkan volume perdagangan dunia karena kemungkinan produk pertanian negara berkembang bisa masuk ke pasar negara maju.
Menurut Bank Dunia keberhasilan liberalisasi perdagangan menambah pemasukan nilai US$ 500 miliar setahun bagi perekonomian dunia, membawa 140 juta penduduk —sekitar 8 persen dari populasi dunia— keluar dari kemiskinan dan menambah US$350 miliar bagi pendapatan negara berkembang mulai tahun 2015.
Tetapi, Drajat juga mengingatkan negara-negara maju kemungkinan tetap akan mencari cara lain untuk melindungi kepentingan dan pasar dosmestiknya dengan menggunakan isu-isu lain yang memberatkan negara-negara berkembang seperti isu lingkungan hidup, hak asasi manusia dan isu HAKI. ”Cara-cara itu yang akan digunakan untuk menekan negara-negara berkembang, sehingga meski perdagangan akan meningkat volumenya tetapi dengan cara-cara yang tidak fair semacam itu bisa menjadi hambatan dalam perdagangan,” kata Drajad.
Penyelesaian kesepakatan liberalisasi pertanian masih membutuhkan waktu lama. Setidaknya menjelang KTM VI di Hongkong, perundingan lanjutan masih akan ada. Meski sudah memiliki kerangka kerja, negara maju ditengarai tetap akan mencari jalan melakukan proteksi pertanian di dalam negerinya. Bagaimanapun perbedaan negara maju dan negara berkembang tetap sangat jauh. (SH/naomi siagian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar