.

.

Kamis, 10 November 2011

Antisipasi Krisis Pangan Dunia tahun 2025


Ditulis oleh: Pendi Setyawan*
*) Anggota Pusat Riset dan Kajian Ilmiah Mahasiswa (PRISMA) dan 5 terbaik Peneliti Mahasiswa Indonesia oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2011

Sebagai salah satu kebutuhan yang sangat pokok selain papan dan sandang, masalah pangan memang tak akan pernah selesai untuk dibahas. Selama manusia masih hidup di dunia masalah yang satu ini ibarat “ruh” kedua manusia. Bahkan karena begitu pentingnya masalah pangan, manusia membuat peraturan-peraturan dan kebijakan khusus terkait ketahanan pangan. Beberapa peraturan tersebut diantaranya ialah; (1) Universal Declaration of Human Right (1948), (2) Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 yang ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186 negara peserta, dimana Indonesia menjadi salah satu di antara penandatangannya. Isinya adalah pemberian tekanan pada hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup, dan perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan, serta (3) Millenium Development Goals (MDGs) yang menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara termasuk Indonesia menyepakati menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuhnya.
Bagi rekan-rekan semua yang mengikuti perkembangan berita dalam seminggu terkahir kemarin pasti tercengang dengan semakin bertambahnya saudara kita dibumi. Beberapa media massa ramai-ramai menuliskan penduduk ke tujuh miliar telah lahir di bumi yang semakin sempit ini. Lalu apa masalahnya dengan semakin bertambahnya penduduk ? saya kira dengan pendahuluan yang telah saya tuliskan di atas, sudah bisa menjadi jawaban yang jelas bagi pertanyaan tersebut. Sudah barang tentu 7 miliar penduduk itu kesemuanya memerlukan makanan untuk hidup, dan sementara kemampuan untuk memproduksi pangan di dunia ini semakin terbatas, coba kita lihat saja disekeliling kita banyak lahan pertanian yang disulap sedemikian rupa menjadi gedung-gedung pencakar langit, pemukiman dan lain sebagainya. Belum lagi ditambah dengan kondisi lahan yang semakin rusak akibat ketergantungan pupuk kimia serta yang menjadi ancaman penting untuk masa sekarang dan lebih lagi untuk masa yang akan datang adalah ancaman global warming yang dapat merusak tatanan di bidang pertanian.
Berdasarkan laporan FAO tentang pengamanan serta ketahanan pangan, sekitar 500 juta penduduk dunia mengalami kekurangan pangan dan sekitar 300 juta berada di kawasan Asia. Kemudian apabila kita berbicara tentang rasio cadangan pangan dunia terhadap konsumsi pangan dunia, maka kita akan menemukan angka yang mencengangkan, dimana dalam 2 dasawarsa terkahir ini rasio produksi dan konsumsi terus mengalami penurunan dan pada tahun 2008/2009 tercatat pada level 15% (Badan pangan dunia PBB, 2008). Ini berarti dari kebutuhan 100 jiwa akan pemenuhan pangan, yang bisa dipenuhi kebutuhannya hanya 15 orang. Lalu pertanyaannya terus yang 85 jiwa lainnya mau dikasih apa ?
Sebagai akibat dari tidak tercukupinya semua kebutuhan pangan manusia, maka selanjutnya akan muncul apa yang kita sebut dengan krisis pangan. Krisis pangan di negara-negara yang berisiko tinggi mengalami krisis pangan sebagian besar berada kawasan di Asia Selatan dan beberapa negara di Asia Timur serta Amerika Latin. Hal ini diperparah dengan kekeringan yang melanda sejumlah negara seperti di Rusia, Ukraina, dan bagian lain Eropa, serta cuaca buruk di AS, Kanada, dan Australia. Krisis pangan di somalia menjadi gambaran yang nyata dan jelas bagi kita betapa dahsyatnya dampak krisis pangan. Sebagaimana banyak dimuat di media massa krisis pangan di somalia telah menewaskan ribuan warga dan akhirnya menjalar menjadi krisis kemanusiaan. Tentunya tidak ada satu negara pun di dunia yang menginginkan adanya krisis pangan. Lalu dimana peran dan peluang Indonesia dalam percaturan pangan dunia?
Beberapa dari rekan-rekan pembaca mungkin sudah biasa dengan pernyataan “Indonesia itu negara yang kaya raya, gemah ripah loh jinawi” ibarat kata tongkat pun tinggal dilempar bisa tumbuh menjadi tanaman. Tapi tetap saja ujung-ujungnya nanti pasti muncul pertanyaan kenapa kita masih impor beras ? kenapa rakyat kita masih banyak yang miskin ? kenapa produk pertanian kita kalah dengan negara lain yang tidak sekaya kita? Dan masih banyak kenapa-kenapa yang lainnya. Oke kita sudahi pertanyaan kenapa sampai disini dan bolehlah saya menjawabnya begini. Kenapa bukan saya yang memperbaiki, kenapa bukan anda yang memulai untuk berbenah? kurang apakah saya dan anda semua? Apakah kita kurang cukup mampu untuk memperbaiki semua ini? Nah selanjutnya silahkan anda menjawab dengan sejujurnya dan sedikir perenungan akan “kenapa, kenapa dan kenapa” saya tulis di atas. Oke kita langsung saja pada pemetaan peluang pasar 2025, ada apa dengan tahun 2025?
Berdasarkan perkiraan neraca pangan dunia 2025, diperkirakan akan terjadi ketidak seimbangan (krisis) pangan dunia dimana jumlah permintaan atau konsumsi pangan melebihi jumlah ketersediaan atau produksi pangan. Perkiraan krisis pangan tersebut menyebabkan beberapa negara mengambil tindakan kebijakan untuk melindungi produksi serta menjamin ketersediaan pangan di dalam negeri. Hasil ramalan FAPRI (2008) menunjukkan bahwa harga pangan menunjukkan tren yang konstan tinggi bahkan cenderung meningkat sejalan dengan semakin menurunnya cadangan pangan.
Banyak peluang Indonesia khusunya dibidang pertanian yang belum dikelola secara maksimal. Apabila peluang ini bisa dikelola dengan maksimalkan maka tidak menutup kemungkinan kita akan menjadi Negara yang diuntungkan dan semakin meningkat peran kita dala percaturan dunia khususnya untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Beberapa potensi peluang yang belum tergarap maksimal diantaranya yaitu:
1. Back to Organic Farming
Kebijakan diadakannya revolusi hijau yang telah digulingkan sejak tahun 60-an telah mengakibatkan menurunnya kualitas lahan pertanian. Penggunaan pupuk kimia sintetis dan pestisida kimia terbukti telah meracuni tanah sebagai tempat tumbuh tanaman. Beberapa tahun terakhir sedang gencarnya diperkenalkan pertanian organik yang salah satunya adaalah dikarenanakan semakin sadarnya masyarakat akan cemaran kimia pada bahan makanan yang mereka konsumsi sehingga menimbulkan penyakit tertentu. Produksi pertanian secara organik telah terbukti mampu meningkatkan produksi pertanian seiring dengan meningkatnya kesuburan tanah. Telah dilaporkan bahwa budidaya padi organik produksinya bisa dua kali lipat dibanding sistem tanam konvensional dimana padi SRI Organik ini menghasilkan 8-9 ton per hektar, sedangkan sistem konvensional hanya 4-5 ton per hektar. Dan tentunya akan berpeluang untuk terus meningkat seiring dengan semakin membaiknya kesuburan tanah bahkan pernah tercatat di Madagaskar produksi padi organik mencapai 20 ton per hektar.
2. Eksplorasi Mikroorganisme Lokal Bermnafaat
Indonesia sebagai Negara yang kaya akan sumberdaya alam menyimpan banyak keanekaragaman hayati. Pemanfaatan mikroba untuk mengendalikan penyakit tanaman merupakan bidang yang relatif belum lama berkembang. Pengendalian hayati terhadap penyakit tanaman dengan memanfaatkan bakteri dan jamur sudah mulai di kembangkan. Sekitar 40 produk pengendalian hayati penyakit tanaman kini beredar di dunia. Beberapa negara maju seperti Australia dan Amerika telah mengembangkan mikroorganisme untuk meningkatkan produktivitas tanah, bahkan mikroorganisme sudah dikembangkan dalam skala industri besar. Beberapa peneliti ahli dari beberapa negara justru malah dikirim ke Indonesia untuk mempelajari keanegaraman hayati Indonesia ini dan dikembangkan di negara asal mereka contohlah NAMRU dari Amerika yang nyata-nyata telah melakukan hal itu. Pertanyaanya kemana kita sekarang ini, sudah saatnya kita menjadi pemain utama dalam mengelola kekayaan hayati Indonesia, bukan lagi Amerika, Australia, Jepang dan Sebentar lagi China yang nyata-nyata telah mempersiapkan diri untuk mengembangkan Industri hayati itu.
Tentunya dua hal hal di atas hanya sedikit contoh potensi Indonesia yang luar biasa ini untuk mengembangkan pertanian guna membidik peluang sebagai “Lumbung Pangan Dunia” tahun 2025. Lalu apa yang perlu kita persiapkan sebagai mahasiswa pertanian untuk mempersiapkan strategi sebaik mungkin agar bidikan kita tepat. Mungkin ini adalah beberapa hal yang umum dan bahkan mungkin juga sudah tidak asing lagi di telinga rekan pembaca semua. Diantara persiapan itu yaitu (1) pematangan kemampuan, dalam konteks ini yang dimaksud dengan kemampuan tentunya bukan hanya hard skill tapi juga softskill. Saya pribadi sempat terheran kenapa di dunia kemahasiswaan seolah kedua kata tersebut dipisah. Bahkan secara jelas dikatakan dengan kegiatan akademik dan non-akademik. Sebagai bekal untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat di dunia sudah selayaknya kita tidak lagi memisahkan antara hardskill dan softskill. Sudah menjadi sebuah keharusan dan prasyarat mutlak bagi mereka yang memiliki bersaing di kancah global untuk memiliki kedua kemampuan ini, (2) menambah ilmu pengetahuan baik pengetahuan melalui dunia formal (pendidikan sekolah) maupun informal (belajar dari alam). Salah satu hal penting yang mungkin perlu kita persiapkan ialah bagaimana cara mengelola lingkungan pertanian untuk tetap dapat menghasilkan produksi tanaman yang tinggi dalam kondisi perubahan iklim global. Karena seperti yang kita ketahui iklim menjadi faktor yang sangat berpengaruh pada keberhasilan suatu kegiatan pertanian. Dengan berbekal pengetahuan dan informasi yang cukuplah kita dapat mengukur dan menetapkan strategi yang tepat untuk meraih suatu tujuan, (3) meningkatkan jalinan kerjasama (global-network). Jalinan kerjasama global ini bahkan sudah ditetapkan sebagai salah satu target capaian MDGs (Millenium Development Goals), (4) kemampuan kerjasama lintas sektoral, banyak dari kita yang masih diperdaya oleh kotak-kotak yang berada disekeliling kita, sadar atau tidak dengan sistem yang terkotak-kotak itu kita telah membatasi diri kita untuk memperoleh sesuatu yang seharusnya bisa kita peroleh namun karena adanya ego pribadi mengakibatkan kita tidak bisa mengakses apa yang ada di luar “kotak” kita.
Lagi-lagi keempat hal di atas di atas adalah contoh dari bentuk-bentuk persiapan kita untuk menguatkan diri kita, menyiapkan diri kita sehingga siap untuk bersaing di dunia global. Doktor Sir E.Williams menuliskan pada bukunya “Secara natural manusia memiliki seluruh bakat untuk menjadi manusia yang luar biasa, hanya saja bakat-bakat itu tadi memerlukan waktu dan sedang mencari kesempatan untuk berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar