100 tahun lalu, istilah "Indonesia" belum dikenal di dunia dan belum mempunyai arti politik di tanah air. Kini, di awal abad ke 21, Republik Indonesia dalam umurnya yang 63 tahun bukan saja menjadi realita politik namun juga fenomena internasional. Indonesia kini dikenal sebagai demokrasi nomor tiga terbesar di dunia; sebagai bangsa berpenduduk muslim terbesar di dunia; sebagai benteng Islam moderat, toleransi dan pluralisme; sebagai "environmental superpower" pemilik hutan tropis yang menjadi solusi penting perubahan iklim global; dan sebagai ekonomi yang dinamis, berlimpah sumber alam, dan bermasa depan cerah.
Alhamdulillah, Indonesia kini sedang naik daun. KTT G 8 tahun ini, untuk pertama kalinya, mengundang Indonesia dalam "major economies meeting". Setelah itu, OECD tahun ini memasukkan Indonesia dalam "enhanced partnership", bersama India, China, Brazil dan Afrika Selatan. International Finance Corporation tahun lalu menyatakan Indonesia sebagai salah satu "fastest reformers" di kalangan emerging markets. Goldman Sachs juga memasukkan Indonesia dalam kategori Next 11 (N 11), yakni sekelompok negara yang dipandang berpotensi menyaingi G 7. Dari 11 negara ini, hanya Indonesia dan Meksiko yang tahun 2050 ekonominya diprediksi akan melampaui Perancis, Inggris, Jerman dan Jepang.
Karena itulah, dalam merayakan 100 tahun Kebangkitan Nasional, kita seharusnya bukan saja bicara Indonesia 1945, namun juga Indonesia 21 Indonesia abad ke 21. Tantangan generasi dan pemimpin muda adalah bagaimana menjembatani antara semangat 45 dengan visi Indonesia 21. Dalam diskursus nasional dewasa ini yang begitu kaya dengan ide dan polemik, saya mencatat masih sedikit yang menawarkan konsep Indonesia abad ke 21. Bahkan banyak pandangan dogmatis yang seakan akan belum menyadari bahwa dunia sudah jauh berubah, dan posisi Indonesia di dunia baru itu juga sudah jauh bergeser dan membaik. Berbicara mengenai Indonesia 21, yang penting harus ada keserasian antara tujuan aspirasional dan nilai operasional. Aspirasi kita menjadi bangsa juara harus didukung dengan mental juara. Sayangnya, kita masih sering dibelenggu oleh kebiasaan lama (nilai operasional) yang selama ini membuat kita lamban, lugu, dan lengah. Baik di kalangan pemimpin maupun masyarakat, kita masih sering melihat budaya sinisme, energi negatif, takut perubahan, malas bersaing, naluri otoriter, paranoia terhadap dunia luar, dan nasionalisme sempit.
Semua ini memang tidak akan mengakibatkan kehancuran bangsa. Namun dengan terus berpegang pada kebiasaan lama ini, kita hanya akan mencapai 40 % potensi bangsa, ketimbang 90 %. Karena itulah, sejumlah tokoh muda yang like minded Dino Patti Djalal, Emirsyah Satar, Chatib Basri, Sandi Uno, Lin Che Wei, Chrisma Al Banjar, Bernhard Subiakto dan lain lain membentuk gerakan Modernisator. Sama seperti gerakan Budi Oetomo di awal abad ke 20, Modernisator bermaksud mendorong Indonesia terus giat beradaptasi dengan perubahan zaman di abad ke 21. Gerakan Modernisator bersifat non politis, independen dan nir laba, dan bertujuan menampilkan tokoh tokoh muda yang nasionalis, internasionalis, open minded, idealis.
Modernisator mendewakan pengabdian dan prestasi, bukan jabatan atau kekuasaan. Kami ingin para pemimpin Indonesia memandang kekuasaan sebagai peluang sosial dan moral, bukan peluang bisnis atau pribadi. Modernisator telah mengidentifikasi 5 nilai operasional yang kami pandang mutlak perlu bagi Indonesia untuk menjadi bangsa yang unggul di abad ke 21 : pengabdian, keunggulan, inovasi, keterbukaan, konektifitas. Kegiatan Modernisator diabdikan sepenuhnya untuk mempromosikan kelima nilai ini kedalam mainstream Indonesia.
Sikap kami mengenai Indonesia 21 juga kami tuangkan ke dalam suatu Manifesto. Dalam Manifesto tersebut, kami menegaskan bahwa generasi hari ini harus dipacu oleh semangat menangkap peluang, bukan dikekang oleh rasa cemas yang tak kunjung habis, dan harus berorientasi pada energi positif, bukan energi negatif. Kami ingin Indonesia mendunia dan juga ingin membawa dunia ke Indonesia. Kami yakin bahwa kini ancaman bangsa yang paling nyata adalah korupsi, kebodohan, ketidak pedulian, potensi konflik, xenophobia, ekstremisme, marginalisasi, nasionalisme sempit, ketidak mampuan membaca tanda zaman. Dalam kurun waktu satu generasi, kami ingin melihat Indonesia menjadi salah satu ekonomi unggul yang paling kompetitif di Asia, handal beradaptasi dan memerah kentungan dari globalisasi, dan melesat jauh melampaui target internasional Millenium Development Goals dengan kemakmuran yang relatif merata dari Sabang sampai Merauke.
Dalam jangka menengah dan panjang, kami ingin Indonesia masuk dalam 10 besar ekonomi dunia, menjadi ekonomi ramah lingkungan yang mapan dan mencapai "zero poverty". Tanpa mengurangi rasa hormat pada generasi lalu, Modernisator ingin agar generasi kami menoreh prestasi yang membekas, mencetak pahlawan masa kini, dan mengukir jejak dan peninggalan sejarah kami sendiri. Karena kebesaran bangsa tercermin dalam sastra, seni arsitektur dan desainnya, kami mendorong kebangkitan bangsa Indonesia di dunia seni dan industri kreatif.
Presiden SBY pernah mengatakan bahwa "perubahan yang paling penting adalah perubahan mentalitas, perubahan mindset". Memang, mentalitas suatu bangsa tidak pernah statis : selalu berubah, dan bisa dirubah. Singapura dulu penduduknya malas dan jorok. Amerika Serikat awalnya rasialis. Jepang pernah sangat feudalistis. Cina sempat menjadi bangsa yang sangat tertutup dan xenophobik. Semua bangsa ini pada suatu saat mengalami perubahan mentalitas, dan barulah kemudian sejarah dan nasib bangsanya juga berubah. Kalau kita bisa menjaga semangat juang 1945, dan, lebih penting lagi, bisa mengadaptasikannya dalam konteks abad ini, maka saya yakin Indonesia 21 kelak akan menjadi jawaban dari apa yang selama ini dimimpikan oleh para pendiri bangsa.
Oleh : Dr. Dino Patti Djalal

Tidak ada komentar:
Posting Komentar